"apa-apaan sihlu?? sakit
tangan gw, pantesan tangan adek gw sampe merah gitu, elu jadi guru tapi
kelakuanlu jauh dari kata teladan ya" ucap wanita tersebut sambil mengatur
nafasnya yang ngos-ngosan lantaran menahan sakit di tangannya. mendengar
kalimat tersebut Nada semakin menjadi, genggaman tangannya semakin di eratkan,
langkahnya menjadi semakin cepat menyeret wanita tersebut. Setibanya di ujung
koridor, Nada langsung menyudutkan wanita tersebut di tembok, menekan tangan
wanita terbsebut ke tembok di atas kepala, tangan kanan Nadi menutup mulut
wanita tersebut
"kamu lebih menggairahkan kalo
lagi keringetan sama ngos-ngosan gini ya, beda pas kalo lagi mabok" dengan
santainya Nadi mengucapkan kalimatnya di telinga wanita tersebut" tempat
tersebut adalah tempat yang jarang disentuh oleh para guru atau penjaga sekolah,
hanya anak-anak yang cabut dari jam pelajaran menjadikan tempat tersebut
sebagai safe zone, berada di paling ujung dan hanya memiliki satu pandangan
yaitu ke bagian belakang komplek elit
"mau ngapain lu, jangan
macem-macem ini sekolahan" kalimat pertama yang muncul sesaat Nadi
melepaskan sekapannya di mulut wanita tersebut, sambil berusaha mengambil nafas
sebanyak-banyaknya, wanita tersebut terlihat sangat ketakutan. Melihat
pemandangan tersebut, Nadi menghentikan semua tindakannya lalu mundur sebanyak dua
langkah disusul dengan uluran tangannya untuk berkenalan
"saya Nadian, bisa panggil
saya Nadi" sambil tersenyum Nadi mengulurkan tangan seperti dia tidak
pernah melakukan apa-apa sebelumnya. melihat tingkah Nadi yang tiba-tiba
berubah 180' wanita tersebut semakin bingung sampai tidak berani menatap wajah
Nai. Hampir sekitar satu menit mereka tidak merubah gerakan, sampai ketika Nadi
mengamil langkah untuk meninggalkan wanita tersebut
"Artri, nama gw Artri"
Artri sendiri bingung kenapa dia malah memperkenalkan diri, padahal Nadi sudah
beranjak meninggalkannya. Nadi menghentikan langkahnya
"di deket sini ada ketupat
padang enak, saya mau makan, kamu harus ikut anggep aja ini langkah awal saya
mempertanggungjawabkan apa yang telah saya perbuat ke kamu sebelumnya"
tawaran Nadi yang tanpa memperdulikan sesuatu apa yang telah terjadi barusan
membuat Artri semakin bertanya, apakah benar dia ini seorang guru, tadi seakan
Nadi sangat bernafsu untuk menerkam Artri sejadi-jadinya namun tiba-tiba
manjadi sangat lembut.
"adek gw gimana, gak usah
bertele-tele, langsung aja ke poinnya" Artri mencoba untuk meluruskan
kepentingan dia datang ke sekolah, padahal tersirat dia mencoba menghindari
ajakan makan dari Nadi, guru mesum aneh.
"adik kamu sudah kembali ke
kelas, kita bisa membicarakan adikmu di luar sambil makan, apa ada yang salah
dengan ini?" Nadi menjawabnya santai sembari mengambil sapu tangan di
kantung celananya, kemudian dengan lembut dia membasuh keringat yang ada leher
Artri, menimbulkan perasaan aneh di tubuh Artri, kemudian dengan perlahan
basuhan tersebut berpindah ke kening Arti, tangan Nadi menyapu sisi kiri sampai
sisi kanan disitu Artri mulai berani untuk menatap wajah Nadi, wajah kalem
namun tersimpan ambisi di matanya. sosok yang membuat wanita seperti Artri
dengan mudahnya di bawa ke ruangan tidak jelas pada malam itu, sesaat ingatan
itu kembali dengan sigap Arta menepis tangan Nadi, tapi nadi malah menahan
kembali tangan Artri, kali ini genggamannya sangat lembut telapak tangan Nadi
tidak lagi menggenggam pergelangan tangan Artri melainkan telapak tangannya,
setelah sapu tangannya di letakan di pundak Artri, tangan Nadi merapikan rambut
arta dirapikan poni Artri sampai menutupi keningnya, kemudian meletakan tepian
rambut Artri ke bagian belakan telinga, selama Nadi melakukan hal tersebut
Artri hanya bisa kembali terpaku pada wajah Nadi yang kalem
"lepasin tangan gw!"
bentak Artri selagi Nadi mengusap bagian belakang rambutnya
"tangan kamu sudah bebas
sedari saya selesai di bagian poni" memerah muka Artri setelah sadar
dengan apa yang diucapkan Nadi, lalu dia sedikit menjauh. nadi menawarkan rokok
kepada Artri
"makasih, bukannya di sekolah
gak boleh ngerokok?" pertanyaan tersebut dibarengi dengan tangannya yang
mengambil satu batang rokok, lalu dengan cepat Nadi menyalakan api untuknya. Artri menerima tawaran rokok karena dia berfikir kalo dia merokok pikirannya bisa jadi lebih rileks
"emang kamu anak sekolah? itu
sih yang saya denger dari guru-guru perokok disini, peraturan itu cuma berlaku
buat siswa" balas Nadi berisikan sarkas
"elu gak ngerokok?" tanya
Artri kepada Nadi karena dia merasa canggung merokok sendirian di lingkungan
sekolah
"enggak, saya sudah berenti,
ini rokok tadi dapet razia, kalo kamu mau ini buat kamu terus sisanya saya
ambilkan di laci meja masih banyak disana" mendengar jawaban tersebut
Artri langsung mematikan rokoknya.
"ayo kita langusng ngomongin
adek gw aja, dimana tempat makannya?" Artri ingin cepat-cepat selesai dari
urusan ini dan segera pergi, karena sudah banyak perasaan dan pikiran tidak
karuan merasuki dirinya.
sepanjang mereka melewati lorong, yang terdengar adalah
teriakan murid mengejek mereka berdua
"uset, abis enak-enak nih
pa"
"bagi-bagilah pak, bawa ke
warung"
"gede njir, 34 34, 36 juga
bisa itumah"
"parah sendirian di pojok
parah pak Nad nih"
mendengar kegaduhan tersebut Artri hanya bisa pura-pura
memasang wajah santai, akhirnya dia tahu maksud dari Nadian merapikan
penampilannya. apa jadinya kalau tadi dia masih berantakan dan harus melewati
koridor yang penuh dengan murid-murid bangor. setibanya di lokasi, dan
menyelesaikan sarapannya Nadian membuka percakapan yang tidak disangka oleh
Artri
"saya lebih tertarik
membicarakan malam yang menggairahkan itu" ekspresi wajahnya kembali
menjadi Nadian yang penuh hasrat
"engga gini perjanjiannya, lu
bilang mau ngomongin adek gw, lagian gw juga udah anggep itu sebagai kegoblokan
gw, selama gak terjadi hal-hal yang diinginkan" ketus Artri
"kalo 12 bulan kedepan terjadi
sesuatu gimana?" bisik Nadi sambil mendekatkan bibirnya di telinga Arti
"tunggu jangan bilang
lu......?" Artri mencoba melawan dugaannya serentak tangannnya mendorong
tubuh Nadi
"ikut saya ke tempat waktu itu
dan kita buat lagi semuanya jelas, serasa ada yang kurang" kembali tangan
Nadi menggenggam lengan Artri lalu menyeretnya ke mobil, Artri ikut tanpa
perlawanan, dipikirannya terganggu oleh dugaannya yang terlalu jauh, dia
benar-benar tidah ingat apa yang terjadi malam itu